Belakangan ini industri penerbangan di
Indonesia lesu, bahkan beberapa maskapai penerbangan harus gulung tikar
karena tidak mampu menghadapi kondisi yang ada. Sejauh ini tekanan yang
dihadapi oleh maskapai penerbangan adalah kondisi ekonomi di Indonesia
yang kurang kondusif, terbukti dari nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat yang cenderung melemah. Selain itu, maskapai penerbangan
juga membutuhkan regulasi yang bisa mendukung industri penerbangan,
apalagi tahun depan maskapai Indonesia harus bertarung lebih intensif
dengan maskapai penerbangan asing karena dibukanya liberalisasi
penerbangan di ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Open Sky.
Jika pemerintah tidak memberikan
regulasi yang mendukung berkembangnya industri penerbangan,
dikhawatirkan akan semakin banyak maskapai penerbangan yang gulung
tikar. Sepanjang tahun 2013-2014 ini saja sudah ada empat maskapai
penerbangan besar yang menutup kegiatan operasinya. Keempat maskapai
penerbangan itu antara lain Batavia Air (Januari 2013), Merpati
Nusantara Airlines (Februari 2014), Sky Aviation (Maret 2014), dan
Tigerair Mandala (Juli 2014). Batavia Air dan Tigerair Mandala tidak
memiliki rencana untuk beroperasi kembali, sedangkan Sky Aviation masih
berupaya agar bisa kembali terbang, dan Merpati Nusantara Airlines masih
menunggu keputusan nasib dari pemerintah selaku pemegang saham.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan
Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carrier
Association/INACA) Arif Wibowo mengatakan seperti yang dilansir Investor Daily
bahwa ada empat faktor yang menyebabkan industri penerbangan terpuruk,
yakni kondisi makro ekonomi yang tidak menentu, lemahnya regulasi,
buruknya infrastruktur, dan banyaknya pungutan biaya yang tidak jelas.
“Pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat lambat menyebabkan bisnis
penerbangan lesu. Pendapatan industri penerbangan biasanya mencapai dua
kali lipat dari persentase pertumbuhan ekonomi,” papar Arif yang juga
menjabat sebagai Direktur Utama Citilink Indonesia.
Tarik-Ulur Kenaikan Tarif Batas Atas
Dalam hal regulasi, Arif mengatakan,
pemerintah masih menarik-ulur mengenai tarif batas atas maskapai
penerbangan. Tarif batas atas yang berlaku saat ini dinilai cukup rendah
dan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada. Dia mencontohkan,
dalam Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur tentang tarif
penerbangan, tarif batas atas akan dinaikkan jika nilai tukar mata uang
sudah mencapai Rp 10.000 per dolar Amerika Serikat. “Sekarang nilai
tukar sudah Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat, tapi tarif masih
ditahan. Ini yang menyebabkan maskapai penerbangan kesulitan. Di satu
sisi kami harus bersaing bebas, namun di sisi lain regulasi masih
mengekang,” katanya.
Maskapai penerbangan nasional Garuda
Indonesia juga satu pandangan dengan Ketua Umum INACA. Malah Garuda
Indonesia tidak setuju adanya tarif batas atas, khususnya untuk rute
penerbangan yang dilayani oleh banyak maskapai penerbangan. Hal itu
diungkapkan oleh Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia
Pujobroto kepada Tempo. Pujobroto mengatakan, untuk rute-rute
penerbangan yang dioperasikan oleh lebih dari satu operator lebih baik
tarifnya diserahkan kepada mekanisme pasar dan tidak perlu dibatasi.
Pujobroto lebih setuju .jika tarif batas atas diberlakukan pada
rute-rute yang hanya dilayani oleh satu maskapai penerbangan saja.
“Supaya mereka tak seenaknya tentukan tarif,” ujarnya.
Namun demikian, kata Pujobroto, Garuda
Indonesia akan mengikuti hitungan teknis dari INACA jika memang tarif
batas atas akan dinaikkan. “Kami kan anggota INACA,” tutur Pujobroto,
sembari menambahkan bahwa tarif batas atas seharusnya diberlakukan jika
nilai dolar Amerika Serikat tak kunjung turun dalam beberapa bulan.
Saat ini Kementerian Perhubungan selaku
regulator telah melakukan perhitungan terhadap usulan kenaikan tarif
batas atas, tapi hitungan itu berbeda dengan permintaan maskapai
penerbangan. Maskapai penerbangan yang tergabung dalam INACA meminta
pemerintah menaikkan tarif batas atas sebesar 25 persen dari angka yang
sekarang, sedangkan Kementerian Perhubungan menghitung berdasarkan
asumsi kurs dolar Amerika Serikat dan harga avtur. “Kami sudah
mengajukan dua alternatif ke Pak Menteri (Menteri Perhubungan Evert
Ernst Mangindaan). Perhitungan kurs dolar Rp 12.000 dan Rp 13.000,” kata
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan
Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmojo.
Dalam hal kenaikan tarif batas atas ini
Kementerian Perhubungan menyatakan sangat berhati-hati. Menurut Kepala
Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan Israfulhayat, sebanyak 70 persen penumpang pesawat di
Indonesia sangat sensitif terhadap harga. “Kalau harga tiket naik 10
persen, maka kami prediksi penumpang pesawat akan turun sebanyak itu dan
beralih ke moda transportasi lain,” katanya seperti dilansir Bisnis.
Sementara itu, Direktur Utama Garuda
Indonesia Emirsyah Satar menganggap industri penerbangan nasional ini
seperti anomali, karena penumpang terus tumbuh tapi maskapai penerbangan
merugi. Menurut Emirsyah Satar, laju perekonomian di Indonesia masih
bisa tumbuh 5,3 persen meski mengalami perlambatan. Di tengah lesunya
kondisi ekonomi, penumpang pesawat masih bisa tumbuh walaupun
pertumbuhan itu tidak setinggi dalam kondisi ekonomi normal. “Makanya
kami bertanya-tanya, kenapa Kementerian Perhubungan belum menyetujui
penaikan tarif batas atas penerbangan. Kalau alasannya daya beli dan
inflasi, penumpang udara kan masyarakat menengah ke atas. Kontribusi tarif pesawat terhadap inflasi juga relatif kecil,” paparnya.
Bea Masuk Suku Cadang Pesawat Tinggi
Keluhan lain yang diungkapkan oleh INACA
adalah bea masuk suku cadang pesawat yang cukup tinggi. Ketua Umum
INACA Arif Wibowo menuturkan bahwa saat ini maskapai penerbangan harus
melakukan impor suku cadang karena suku cadang pesawat itu tidak
diproduksi di Indonesia. Diapun meminta pemerintah untuk membebaskan bea
masuk suku cadang pesawat ini. “Kita harapkan bea masuk (suku cadang)
maskapai bisa nol persen, karena biaya untuk membeli komponen bisa
mencapai 25 persen dari beban operasional maskapai,” katanya.
Arif mengatakan, sebenarnya pemerintah
sejak 2007 telah mengeluarkan aturan yang membebaskan bea masuk.
Berdasarkan aturan itu, cukai bea masuk ditanggung oleh pemerintah.
Namun kenyataannya aturan itu tidak direalisasikan di lapangan. “Tapi
realisasinya nol,” tegas Arif.
Menurut Arif, INACA telah mengajukan 300
komponen pesawat kepada Kementerian Perhubungan untuk mendapatkan
pembebasan bea masuk. Komponen itu sebagian besar diimpor dari Amerika
Serikat dan Eropa. Tetapi, Kementerian Perhubungan hanya menyetujui 27
komponen yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Setelah itu, dari 27
komponen itu kembali diajukan kepada Kementerian Perindustrian, dan yang
disetujui hanya empat komponen saja.
Regulasi yang ada di Indonesia ini
sangat berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand,
dan Singapura yang sudah membebaskan bea masuk suku cadang pesawat
untuk menunjang pertumbuhan industri penerbangan, sementara di Indonesia
masih mengenakan bea masuk antara 5-7 persen.
Mahalnya bea masuk suku cadang ini juga
mendapatkan keluhan dari GMF AeroAsia, sebuah perusahaan yang bergerak
dalam bidang perawatan, perbaikan, dan overhaul (MRO) pesawat. Direktur
Utama GMF AeroAsia Richard Budihadianto mengatakan, bisnis MRO di
Indonesia sulit mendapatkan pasar baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri akibat bea masuk suku cadang yang mahal ini.
Richard menuturkan, banyak maskapai
penerbangan di Indonesia yang melakukan perawatan pesawat di luar negeri
karena keterbatasan komponen yang diproduksi di Indonesia. Bahkan GMF
AeroAsia hanya bisa menyerap 30 persen dari total pengeluaran maskapai
Indonesia dalam hal perbaikan dan perawatan pesawat. “Belum apa-apa,
pelanggan dari luar sudah harus dibebani biaya suku cadang 5 persen.
Suku cadang ini berkontribusi 60 persen terhadap biaya perawatan.
Seluruh maskapai kita mengeluarkan US$ 900 juta per tahun untuk
perawatan pesawat. Yang bisa kami serap hanya 30 persen,” paparnya.
Harga Avtur Lebih Mahal 13 Persen
Selain tarif yang dicekik dan bea masuk
suku cadang pesawat tinggi, Arif mengungkapkan bahwa harga bahan bakar
pesawat (avtur) di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan di
negara-negara ASEAN lainnya. Salah satu pemicu mahalnya harga avtur di
Indonesia adalah keterbatasan kilang minyak. Indonesia juga harus
mengimpor avtur dari negara lain, seperti Singapura dan Korea Selatan,
menyebabkan harga avtur semakin membengkak. “Mahalnya harga avtur di
Indonesia bisa mencapai 13 persen dibanding negara ASEAN lainnya
lantaran kondisi geografis Indonesia yang tersebar menjadi 62 lokasi
dengan kilang minyak terbatas, yakni tiga,” paparnya.
Arif juga menyayangkan adanya komponen biaya yang tidak perlu saat membeli avtur dari Pertamina, seperti adanya fee
untuk BPH Migas sebesar 0,3 persen. Padahal, menurut Arif, avtur ini
diatur oleh Kementerian BUMN, bukan BPH Migas, jadi sudah sepantasnya fee
yang tidak perlu ini dihilangkan. “Kami mengharapkan biaya BPH Migas
untuk avtur dapat dihilangkan sehingga hal ini sangat membantu,” ujar
Arif.
Infrastruktur Kurang Memadai
Dari segi infrastuktur, Arif mengatakan,
pengembangan bandara yang lamban mengakibatkan maskapai tidak bisa
melakukan efisiensi biaya. Di Bandara Soekarno-Hatta, misalnya,
pembangunan taxi way belum juga rampung, sehingga pesawat membutuhkan waktu lebih lama untuk lepas landas (take off)
dan menghabiskan banyak bahan bakar. Kapasitas bandara yang tidak
segera ditingkatkan juga mengakibatkan pemerintah membatasi slot
penerbangan.
“Beberapa maskapai nasional terpaksa menunda ekspansi, bahkan berhenti beroperasi karena mengalami kerugian besar. Dari kelas low cost,
yang bisa bertahan hanya maskapai dengan pertumbuhan cepat. Citilink
bisa tumbuh karena induk perusahaannya, yaitu Garuda Indonesia, mampu
mempertahankan pertumbuhan,” ujar dia.
INACA Ingin Pemerintah Pro Industri Penerbangan
Dengan berbagai permasalahan yang ada
INACA meminta pemerintah agar memberikan dukungan yang lebih baik pada
industri penerbangan nasional, karena regulasi yang ada saat ini belum
bisa mendukung industri penerbangan untuk berkembang. “Saatnya
pemerintah memberikan kepastian bagi INACA mengingat tantangan industri
penerbangan ke depan semakin berat, terutama menjelang pemberlakukan
ASEAN Open Sky Policy pada 2015 dan juga belum siapnya industri
strategis aviasi nasional dan mendukung bisnis penerbangan,” katanya.
Arif menjelaskan, untuk mengurangi beban
maskapai penerbangan yang sudah sangat berat, pihaknya berharap agar
pemerintah memberlakukan kebijakan-kebijakan yang bisa mendukung
industri penerbangan. “Industri penerbangan merupakan industri yang
strategis terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Untuk itu
perlu kebijakan yang strategis pula,” tutup Arif.
EmoticonEmoticon